Head Line News :
Home » » SEJARAH NAHWU BASROH

SEJARAH NAHWU BASROH

Selasa, 16 April 2013 | 0 komentar

MAKALAH Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Nahwu Dosen Pengampu : Tamim Mulloh, M.Pd Oleh : SITI AISYAH (11310042) JAWAHIR (11310039) IKA SETIA RINI (11310016) BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS HUMANIORA DAN BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2011 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada jaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang lain, mereka melakukannya dengan tabiat masing-masing, dan lafazh-lafazh yang muncul, terbentuk dengan peraturan yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada senior, para anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya. Namun ketika Islam datang dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi, terjadinya pernikahan orang Arab dengan orang non Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan, menjadikan Bahasa Arab bercampur baur dengan bahasa non Arab.Orang yang fasih bahasanya menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga keindahan Bahasa Arab menjadi hilang. Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk menyelamatkan Bahasa Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu Nahwu. Seperti yang sudah kita ketahui kiblat dari pembelajaran ilmu nahwu itu terletak antara basrah dan kuffah.Dua aliran ini sangat kuat dalam mengulas setiap akar ilmu nahwu.Tetapi terdapat banyak perbedaan antara keduanya.Baik berbeda dari segi ketetapan, penamaan, dan sebagainya. Dalam segi periode Basrah dan Kuffah, Basrah merupakan masa ketiga dan Kufah baru memulai masa pertamanya. Hal ini tidak terlalu mengherankan, sebab kota Bashrah memang lebih dulu dibangun daripada kota Kufah.Lunturnya metode nahwu pada aliran Kuffah dikarenakan tidak adanya pembukuan dan penetapan ilmu yang tertulis pada kitab-kitab yang dibukukan untuk masa selanjutnya, tidak seperti Basrah yang diabadikan dalam tulisan karya-karya para Ulama’ pada masanya.Seperti Imam Syibawaihi yang menciptakan banyak kitab-kitab nahwu dan masih menjadi rujukan sampai saat ini. 1.2 Rumusan Masalah 2. Bagaimana aliran nahwu secara umum? 3. Bagaimana sejarah nahwu basrah? 4. Siapa pencetus Ulama’ Basrah dan bagaimana produk-produknya? 1.2 Tujuan 1. Untuk mengetahui aliran nahwu secara umum terutama di Basrah. 2. Untuk mengetahui sejarah nahwu Basrah. 3. Mengulas pencetus Ulama’ Basrah dan menjelaskan produk-produk dalam ThobaQohnya. 1.3 Manfaat Manfaat dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai pengantar dan bekal dalam pembelajaran study ushul nahwu dari setiap pembahasan-pembahasan yang runtut, baik yang sudah dibahas, sedang dibahas, atau yang akan dibahas. Harapan dari seorang penulis semoga bisa bermanfaat bagi semua kalangan pembaca apa yang sudah kami paparkan dalam pembuatan makalah ini. 1.4 Batasan Masalah Mengingat luasnya pembahasan nahwu dalam study ini, penulis memberi batasan pembahasan agar tidak terlalu melebar dalam diskusi yang akan dibuka dalam forum nantinya. Terlihat dari pembahasan yang begitu panjang dan sangat menarik penulis memberikan gambaran umum aliran nahwu yang masyhur tetapi hanya membahas aliran Basrah secara detail dan lainnya hanya sebagai pelengkap untuk mengetahui perkembangan dan perbandingannya. Tak sebatas itu saja, mengetahui banyaknya thobaqoh pada aliran Basrah bersama Tokoh-tokohnya, penulis hanya mengulas dan focus pada beberapa tokoh yang termasyhur hingga sekarang. Yaitu Imam Abu Aswad ad-Dhualy, Imam Kholil bin Ahmad, Imam Syibawaihi. DAFTAR ISI DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan D. Manfaat E. Batasan Masalah BAB II PEMBAHASAN A. Aliran nahwu secara umum a.1 aliran Basrah a.2 aliran Kuffah a.3 aliran Baghdad a.4 aliran Mesir a.5 aliran Andalusia B. Sejarah Basrah C. Konsep D. Paradigma Ulama’ Basrah E. Karakteristik nahwu Basrah F. Pencetus Ulama’ Basrah dan produk-produknya f.1 Imam Abu Aswad ad-Dhualy f.2 Imam Kholil bin Ahmad f.3 Imam Syibawaihi BAB III PENUTUP A. Kesimpulan DAFTAR PUSTAKA BAB II PEMBAHASAN A. Aliran nahwu secara umum a.1 Aliran Basrah Nahwu tumbuh dan berkembang di tangan para ulama Bashrah.Pada awal perkembangannya, nahwu masih merupakan ilmu dengan lingkup yang kecil.Abu al-Aswad menemukannya dan kemudian dikuatkan oleh Imam Ali ra. Pada masa peletakan dan penyusunan yang terjadi di Bashrah, ada beberapa faktor yang mendorong ulama-ulama di kota ini melakukannya. Diantaranya adalah faktor agama, nasionalisme Arab, dan juga faktor sosiologis.Faktor agama sangat terkait erat dengan keinginan atau tanggung jawab para ulama untuk menjaga dan menyampaikan al-Qur’an agar terhindar dari kesalahan.Hal ini didasarkan kenyataan adanya kesalahan baca beberapa ayat oleh sebagian orang.Sudah tentu mereka adalah orang-orang non-Arab.Faktor kedua adalah nasionalisme Arab. Faktor ini berkaitan dengan adanya keinginan orang-orang Arab untuk memperkuat kedudukan Bahasa Arab di tengah pembaurannya dengan bahasa-bahasa lain, disamping adanya kekhawatiran akan kepunahannya. Sedangkan faktor sosiologis berkaitan dengan kebutuhan masyarakat untuk memahami bahasa al-Qur’an. Yang dimaksud faktor agama di sini terutama adalah usaha pemurnian Al-Qur'an dari lahn (salah baca).Sebetulnya, fenomena lahn itu sudah muncul pada masa Nabi Muhammad masih hidup, tetapi frekuensinya masih jarang. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ada seorang yang berkata salah (dari segi bahasa) dihadapanNabi, maka beliau berkata kepada para sahabat: "Arsyiduu akhaakum fa innahu qad dlalla" (Bimbinglah teman kalian, sesungguhnya ia telah tersesat). Perkataan dlalla 'tersesat' pada hadits tersebut merupakan peringatan yang cukup keras dari Nabi.Kata itu lebih keras artinya dari akhtha'a 'berbuat salah' atau zalla 'keseleo lidah'. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa salah seorang gubernur pada pemerintahan Umar bin Khattab menulis surat kepadanya dan di dalamnya terdapat lahn, maka Umar membalasnya dengan diberi kata-kata "qanni' kitaabak sawthan" 'berhati-hatilah dalam menulis' (Abul Fath, tanpa tahun). Lahn itu semakin lama semakin sering terjadi, terutama ketika bahasa Arab telah mulai menyebar ke negara-negara atau bangsa-bangsa lain non-Arab. Pada saat itulah mulai terjadi akulturasi dan proses saling mempengaruhi antara bahasa Arab dan bahasa bahasa lain. Para penutur bahasa Arab dari non-Arab sering kali berbuat lahn dalam berbahasa Arab, sehingga hal itu dikhawatirkan akan terjadi juga pada waktu mereka membaca Al-Qur'an. Dari sisi sosial budaya, bangsa Arab dikenal mempunyai kebanggaan dan fanatisme yang tinggi terhadap bahasa yang mereka miliki.Hal ini mendorong mereka berusaha keras untuk memurnikan bahasa Arab dari pengaruh asing.Kesadaran itu semakin lama semakin mengkristal, sehingga tahap demi tahap mereka mulai memikirkan langkah-langkah pembakuan bahasa dalam bentuk kaidah-kaidah. Ilmu nahwu di Basrah yang kemudian dikenal dengan istilah Al-Madrasah Al- Basriyah (aliran Basrah) berkembang dengan pesat. Selanjutnya, Al-Tantawi (1973: 69) membagi aliran Basrah berdasarkan periode dan tokoh-tokohnya kepada tujuh tingkatan, mulai dari Abu Al- Aswad Al-Du ali (69 H) sampai dengan Al- Mubarrid (285 H). Sumber kajian aliran Basrah dalam menetapkan kaidah nahwu dan kebahasaan adalah (a) Alquran Al-Kariim, (b) bahasa kabilah-kabilah Arab, dan (c) puisi-puisi Arab. Menurut Muhammad al-Thanthawi (108-115), pesatnya aliran Basrah didukung oleh situasi-situasi berikut: Pertama, banyak warga Bangsa Arab dari suku yang dikenal fasih dalam tradisi berbahasa Arab mengungsi ke Bashrah, terutama dari suku Qais dan Tamim.Kedua, adanya pasar “al-Mirbad” di Bashrah.Pasar ini kedudukannya seperti pasar “Ukadh” di Arab pada zaman jahiliyah.Di pasar ini, para sastrawan (penyair), ahli sejarah dan ahli bahasa berkumpul untuk “beradu” kemampuan.Dari sini pula para ahli nahwu mendapatkan sesuatu sebagai rujukan kaidah nahwunya.Ketiga, posisi geografis yang mendukung kemurnian Bahasa Arab. Bashrah berada di tengah padang sahara, sebelah selatan laut dan sebelah baratnya Lembah Najd. Selain itu, aliran Basrah dapat berkembang dengan sangat pesat hingga terkenal di kalangan para ulama Nahwu (nahwiyyin) dikarenakan begitu gigihnya para pelajar (thalib) dalam memelajari Ilmu Nahwu yang diajarkan langsung oleh penyusun kitab pertama kali (Abu Aswad ad-Duali).Sebab utama begitu semangatnya mereka dalam mendalami Ilmu Nahwu adalah karena negeri Basrah saat itu telah bercampur dengan penduduk pribumi dengan non pribumi (‘azam) yang layaknya hidup seperti penduduk asli. a.2 Aliran Kuffah Nahwu aliran Kufah terdapat di negeri Kufah yang terkenal sebagai negerinya para muhadditsin, penyair dan ahli qira’ah.Sehingga, terdapat di dalamnya tiga ulama yang masyhur dalam qira’ah, yaitu Kisai, Ashim bin Abi an-Nujud, dan Hamzah.Kisai adalah salah satu pendiri madzhab Kufah. Pendapatnya terhadap suatu masalah gramatika bahasa Arab selalu menjadi acuan, baik pengikutnya atau yang lain. Ciri khas madzhab ini adalah lebih sering menggunakan qiyas dalam memecahkan sebuah masalah yang berkaitan dengan gramatika Arab.Mayoritas para ahli bahasa dan ahli Nahwu membandingkan antara madzhab Kufah dengan Basrah. Sebagai contoh, nama-nama seperti Abu Ja’far ar-Ruasi mengikuti madzhab ulama Basrah Abu Amr al-A’la dan Isa bin Umar. Begitu juga Khalah Muaz bin Muslim al-Hara’i juga memanfaatkan madzhab keduanya dalam memelajari Nahwu dan Sharaf. Kisai menganut madzhab Isa bin Umar, Khalil bin Ahmad, Yunus bin Habib yang mereka semua mengadopsi pemikiran-pemikiran Sibawaih. Sebenarnya, berdirinya Nahwu mazhab Kufah adalah karena jasa Ali Ibn Hamzah al-Kasai beserta muridnya Yahya Ibn Ziyad al-Fara’i, dan bahwasanya promotor utama bagi pembentukan Nahwu mazhab Kufah ini adalah al-Akhfasy al-Ausath Said Ibn Mas’adah yang terinspirasi dari ide-ide dan pemikiran gurunya Sibawaih dan al-Khalil. Aliran Kufah muncul sebagai suatu aliran tersendiri dalam bidang kajian nahwu sesudah satu abad lamanya dari lahirnya aliran Basrah. Para tokoh aliran Kufah tidak ikut bersama-sama dengan para tokoh aliran Basrah dalam kajian nahwu disebabkan mereka memusatkan perhatiannya dalam bidang lain, seperti periwayatan puisi dan pengumpulannya, periwayatan jenis-jenis qira at, di samping perhatian mereka dalam kajian yang mempunyai hubungan dengan masalah-masalah fikih (Daif, 1972: 153). Awal munculnya aliran Kufah sebagai suatu aliran nahwu tersendiri terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah. Menurut Al-Makhzumi (1958: 67-68), ada yang berpendapat bahwa aliran Kufah dimulai oleh Abu Ja far Al-Ruasidan Mu adh bin Muslim Al-Harra (187 H). Ada juga yang berpendapat bahwa aliran Kufah dimulai dengan munculnya Al-Kisai (189 H) dan Al-Farra' (207 H). Sekalipun demikian, Al-Tantawi (1973: 69) tetap membagi aliran Kufah berdasarkan periode dan tokoh-tokohnya menjadi lima tingkatan,mulai dari Al-Ru a - si- dan Mu a-dh bin Muslim Al-Harra- (187 H) sampai Tha lab (291 H). Sumber kajian aliran Kufah dalammenetapkan kaidah-kaidah nahwu dan kebahasaan adalah (a) Alquran Al-Kari-m, (b) bahasa kabilah-kabilah Arab, (c) puisi puisi Arab, dan (d) nahwu aliran Basrah (Al-Makhzumi,1958:337, Al-Qifti, 1958: 258, Al-Anbari, 1953: 208, Abd. Hamid, 1976: 202). a.3 Aliran Baghdad Pada masa-masa awal munculnya aliran Baghdad, yaitu sekitar abad ke-3 H, perkembangan ilmu nahwu di Baghdad lebih didominasi oleh pengaruh dari Kuffah dari pada pengaruh dari Bashrah.Hal ini tidak lepas dari campur tangan kekuasaan khalifah-khalifah Bani Abbas.Dominasi pengaruh madzhab Kuffah ini masih terus terasa, dan baru dapat berkurang setelah tokoh-tokohnya meninggal dunia. Dalam perkembangan selanjutnya, para pakar nahwu Baghdad berupaya memadukan madzhab Kuffah dan Bashrah, kemudian mereka formulasikan ke dalam sebuah aliran baru yang disebut sebagai aliran Baghdad, di mana kaidah-kaidah yang mereka gunakan sebagian diambil dari kaidah-kaidah nahwu Kuffah, sebagian dari kaidah-kaidah nahwu Bashrah dan sebagian lagi adalah kaidah-kaidah nahwu baru hasil ijtihad ataupun istimbat mereka. a.4 Aliran Mesir Mesir termasuk daerah yang ramai dan menjadi salah satu pusat ilmu bahasa setelah Irak.Jarak Irak yang lebih dekat kepada jazirah Arab Makkah dan Madinah menjadikannya lebih unggul daripada Mesir.Namun begitu, Mesir ternyata lebih dulu daripada daerah Magrib dan Cordova. Perhatian pada bidang bahasa di Mesir terbilang terlambat dari Irak. Namun, lebih maju dari yang lain seperti daerah Syam, Maghrib dan Andalus. Bisa dibilang, orang-orang Mesir mulai menggeluti bahasa secara serius setelah di Irak telah sangat maju.Kota-kota seperti Basroh, Kufah dan Baghdad telah menjadi pusat bahasa dan ilmu. Kebanyakan orang-orang Mesir setelah fathul Islam lebih berkonsentrasi dalam mempelajari ilmu-ilmu pokok keislaman dibanding bahasa.Mereka lebih mencukupkan untuk mengikuti perdebatan dan hasil-hasil penelitian tentang bahasa yang terjadi di Irak. Orang Mesir yang terkenal pertama kali membawa ilmu nahwu adalah Walid bin Muhammad Attamimi. Dia telah pergi ke Basroh dan menjadi murid Mahlabi, Kholil bin Ahmad dan para guru yang lain. Kemudian dia membawa buku-buku nahwu dan bahasa ke Mesir.Setelah itu langkah beliau diikuti oleh ulama Mesir yang lain seperti; Abu Ali Ahmad bin ja'far ad-dainuri yang telah mengambil dari al-mazini kitabnya Sibawaih dan membacanya di pusat-pusat belajar Baghdad dan mengajarkannya di Mesir. Transfer ilmu bahasa Jalur Irak ke Mesir terus berlanjut dan diikuti oleh generasi-generasi seterusnya. a.5 Aliran Andalusia Dimulainya perbincangan ilmu nahwu di Andalusia, Negara Arab Timur.mempunyai dua faktor penting: 1. Setelah permasalahan Andalusia dengan negara Timur Irak, maka tersebarlah kajian Nahwu. 2. Tenggelamnya Arab sejak masuknya Andalusia kepada purifikasi dari Faronjah dengan mengikuti jejak mereka untuk menguatkan kekuasaan mereka yang diawali dari aspek peradaban dan pemikiran. Kita berpendapat bahwa Dirosah Nahwu di Andalusia berawal dari mazhab Kufy dan mengenyampingkan mazahb Basary selama seabad.Hampir pertengahan abad keempat kita jumpai kedua mazhab ini dapat berjalan beriringan dimana sebagian ulama stabil dalam menggunakan mazhab Kufy sedangkan ulama lainnya menggunakan mazhab Basary sedangkan kelompok ketiga menggunakan gabungan dari kedua mazhab ini. B. Sejarah nahwu Basrah Bashrah adalah kota perdagangan di pinggir negara-negara Arab. Di sana, mengalir sungai Tigris dan Euphrates yang bermuara ke laut. Basrah terletak pada jarak tiga ratus mil tenggara Baghdad.Namanya diperoleh dari sifat tanahnya.Bashrah adalah tempat yang tanahnya halus berbatu, banyak mengandung air dan bagus untuk pertanian. Hal ini diperlihatkan dengan adanya buluh (qashb), yaitu: tanah yang cocok untuk dijadikan tempat tinggal, dan memungkinkan untuk berkembang dan mengambil manfaat dari tempat-tempatnya yang bersifat natural. Menilik masa perkembangan ilmu nahwu, ada 4 (empat) fase.Pertama, masa peletakan dan penyusunan.Ini berpusat di Bashrah, sejak peletakan pertama oleh Abu al-Aswad sampai al-Khalil ibn Ahmad.Kedua, masa pertumbuhan, yaitu masa perkembangan di mana kiblat nahwu sudah dua arah Bashrah dan Kufah.Tokoh pada fase ini Abu Ja’far Muhammad ibn al-Hasan al-Ru’asi, Abu Utsman al-Mazini al-Bashri dan Ya’qub ibn al-Sikkit al-Kufi.Ketiga, fase kematangan dan penyempurnaan. Otoritas ilmu nahwu pada masa ini masih berada di tangan ulama-ulama di kedua kota tersebut. Mereka itu, selain kedua tokoh di atas adalah al-Mubarrad al-Bashri dan Tsa’lab al-Kufi. Keempat, fase terakhir nahwu sudah menyebar ke berbagai kota, seperti Baghdad, Mesir, Syiria, dan Andalusia. Penyebar nahwu di kota-kota ini adalah para alumni madrasah-madrasah yang berada di Bashrah dan Kufah. Perkembangan pada periode perintisan dan penumbuhan berpusat di Bashrah, dimulai sejak zaman Abul Aswad sampai munculnya Al-Khalil bin Ahmad, yakni sampai akhir abad kesatu Hijriyah. Periode ini masih bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa kepeloporan dan masa pengembangan. Masa kepeloporan tidak sampai memasuki masa Daulah Abbasiyah.Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas (analogi), belum munculnya perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha kodifikasi.Adapun ciri-ciri masa pengembangan ialah makin banyaknya pakar, pembahasan tema-temanya semakin luas, mulai munculnya perbedaan pendapat, mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan kaidah dan hukum bahasa, dan mulai dipakainya metode analogi. Yang menarik pada masa ini para ulama nahwu terjun langsung kesetiap kampung-kampung arab badui untuk meneliti dan mengambil banyak sampel tentang kosakata arab yang murni atau pun susunan kalimat bahasa arab yang belum tercampur dengan dialek azam dan masuknya lahn. Setelah itu di tulis, seperti yang bilakukan imam kholil ahmad dalam menyusun kitab Al-A’in. disamping itu aliran ini terpengaruh oleh logika formal karena lebih cendrung menggunakan metode qiyas/silogisme karena melihat dari historisnya aliran ini mewarisi budaya helenis yunani, juga ilmu mantiq dan ilmu kalam berkembang pesat dikota basrah ini. Pada awal perkembangannya, nahwu masih merupakan ilmu dengan lingkup yang kecil.Abu al-Aswad menemukannya dan kemudian dikuatkan oleh Imam Ali ra.Ilmu ini mendapat iklim yang bagus untuk berkembang di Basrah sesuai dengan keadaan Basrah waktu itu. Ilmu nahwu sangat diperlukan di Basrah karena sangat banyak kesalahan bahasa di sana. Kaum muslim non Arab di Basrah sangat membutuhkan ilmu nahwu untuk memperbaiki bahasa, menghilangkan pengaruh bahasa asing, mendalami agama Islam, dan meningkatkan kedudukan mereka di kalangan orang Arab. Setelah Abu al-Aswad membangun sistematika ilmu nahwu, ternyata orang Arab juga membutuhkannya dalam berbahasa. Setelah masa Abu al-Aswad, perbedaan mulai timbul di antara para muridnya, seperti ‘Abdurrahman bin Hurmuz, Maimun al-Aqran, ‘Anbasah al-Fil, Yahya bin Ya‘mur, Nasr bin ‘Asim, dan juga para murid berikutnya, seperti ‘Isa bin ‘Umar, Abu ‘Amr bin al-‘Ala, dan Yunus bin Habib. Terkait dengan perkembangan ilmu nahwu, ada lima tahap perkembangan yang penting untuk diketahui, yaitu: 1. Penggunaan contoh dan dalil. Cara ini dipakai agar pendapat yang diambil benar dan sesuai dengan perkataan orang Arab. Abu al-Aswad memakai cara ini ketika Bani Qusyair mempertanyakan masuknya dia ke dalam kelompok Syiah. Kemudian Abu al-Aswad mengucapkan sebuah syair yang berbunyi ولست بمخطئ إن كان غيا فإن يك حبهم رشدا أصبه Syair ini adalah bukti bahwa Abu al-Aswad tidak ragu-ragu.Pendapat Abu al-Aswad terkait dengan hak untuk berbeda pendapat. Dia menggunakan ayat al-Qur’an sebagai dalil, yaitu ayat yang berbunyi: وإنا أو إياكم لعلى هدى أو فى ضلال مبين (سبأ : 24) Pada kesempatan yang lain, Abu al-Aswad juga menjelaskan bolehnya menggunakan perkataan لولاي . Hal ini sesuai dengan sebuah syair yang berbunyi: وكم موطن لولاي طيحت كما هوى # بأجرامه من قنة النيق منهرى 2. Penggunaan pendapat ulama terdahulu. Hal ini misalnya yang terjadi pada ‘Abdullah bin Abi Ishaq yang membaca: قل هو الله أحدٌ الله الصمد Kemudian dia mendengar Nasr bin ‘Asim membacanya dengan cara: قل هو الله أحدُ الله الصمد karena bertemunya dua tanwin. ‘Abdullah mengatakan kepada Nasr bahwa ‘Urwah membaca ayat tersebut dengan tanwin, tetapi Nasr mengatakan bahwa bacaan ‘Urwah tidak baik.Maka ‘Abdullah membaca ayat tersebut tanpa tanwin seperti yang dikatakan oleh Nasr. 3. Perbedaan pendapat Perbedaan pendapat ini terkait dengan prinsip-prinsip yang dirumuskan sendiri oleh para ahli nahw. Sebagai contoh adalah ‘Abdurrahman bin Hurmuz yang membaca ayat dengan bacaan: أو يأتيهم العذاب قُبُلاً (الكهف : 55) Hal ini berbeda dengan ‘Isa bin ‘Umar yang membaca: أو يأتيهم العذاب قِبَلاً (الكهف : 55 ) ‘Abdullah bin Abu Ishaq juga membaca beberapa ayat dengan cara berbeda, misalnya: يا ليتنا نردَ ولا نكذبَ بآيات ربنا ونكونَ من المؤ منين (الأنعام : 27) والزانيةَ والزانيَ (النور : 2 dan والسارقَ والسارقةَ (المائدة : 38 4. Pemeriksaan dan Penafsiran Para ahli nahw mulai memeriksa kaidah dan menafsirkan teks sesuai dengan kaidah yang mereka susun. Sebagai contoh adalah perbedaan penafsiran antara ‘Isa bin ‘Umar dan ‘Amr bin al-‘Ala. Keduanya membaca sebuah ayat dengan cara yang sama, yaitu ayat: يا جبال أوبي معه والطيرَ (سبأ : 10) . Akan tetapi, keduanya berbeda dalam penafsiran. Bagi ‘Isa, cara pembacaan seperti di atas terkait dengan adanya nida’, sedangkan Abu ‘Amr menyatakan adanya idmar dengan سَخَّرْنَا seperti dalam ayat yang berbunyi: ولسليمان الريحَ (سبأ : 12) . 5. Pemberlakuan Aturan Nahwu. Pemberlakuan ini dilakukan oleh para ahli nahw terkait dengan penggunaan bahasa Arab di kalangan umat Islam. Sebagai contoh adalah Abu Muslim yang menjadi pengajar khalifah Malik bin Marwan. Dia bertanya kepada seseorang mengenai ayat:(تأزهم أزا (مريم : 83 dan إذا الموءودة سئلت (التكوير : 8) ketika dipakai dalam contoh ungkapan يا فاعلٌ افعلْ . Maka orang itu menjawab dengan perkataan: يا آز اُز dan يا وائد اِد .Maka Abu Muslim merasa bahwa perkataan ini tidak pernah didengarnya dari orang Arab dan memutuskan untuk tidak digunakan di kalangan umat Islam.( Kitab Madaris An Nahwiyah) C. Konsep Nahwu Bashroh Para ulama` nahwu bahsroh mereka dalam menerapkan konsep nahwu mereka tidak terikat dengan metode-metode yang ada. Karena dalam berpikir mereka lebih kuat dan bebas dan metodenya lebih terorganisir yakni mereka berpegang teguh pada dalil yang tsiqoh dan tatanan lisan Arab banyak berperan dikalangan mereka. Karena menurut mereka tatanan lisan Arab itu terpecaya dan bisa dijadikan landasan.Para ulama` nahwu basroh mereka tidak mau mengambil suatu dalil (bukti) jika tidak terdapat dalam alquran dan perkataan orang arab yang mereka akui kefasihannya dan jauh dari kesalahan.Dan mereka (Para ulama` nahwu basroh) juga belajar pada ulama` dan sastrawan karena mereka menganggap perkataan mereka bisa dijadikan landasan. Dan tidak salah jika Imam Suyuti berkata bahwa: bahwa aliran (madrasah) basroh adalah aliran yang paling benar dalam pengqiasannya karena tidak memperhatikan pada setiap apa yang mereka dengar dan tidak mengqiaskan pada sesuatu yang langkah (شاذ). Pada hakikatnya para ulama` bashroh terpengaruh oleh lingkungannya dan mereka mengikuti dan terpengaruh oleh Mu`tazilah dalam hal mengandalkan aqal dalam beragumen dan membuang yang bertentangan dengannya dan meninggalkan yang langkah atau jarang (شواذ) dalam bahasa.Oleh karena itu ulama` nahwu basroh dinamakan ahli mantik. D. Paradikma Ulama Basroh Orang yang berpradikma itu mengambil perumpamaan apa yang mereka lihat seperti apa yang mereka dengarkan dan mengabaikan siapa yang berpendapat, tapi kebanyakan dari orang yang bersaksi mendengarkan secara umum tidak bisa dijadikan dasar hukum. Orang kufah berpendapat segala sesuatu yang dia dengarkan dari orang arab dan mereka menjadikannya dasar untuk di qiyaskan, dan sesungguhnya orang kufah tidak mendokumentasikan apa yang mereka qiaskan dari bahasa arab, karena yang mereka qiyaskan masih ganjil dan langka, qias yang mereka pakek dengan materi yang mereka pelajari. Kita akan melihat bagaimana materi nahwu persi lama tentang basroh dan kufah. Abdul Ishaq menyalahkan kalimat berbahasa arab apabila kalimat tersebut keluar dari orang arab, dan Abdul Ishaq belajar kepada Farasdaq tentang bahasa dan bertukar pikiran tentang pelajaran, dan Anabighah belajar secara bertahap dalam bab yang mempelajari kekeliruan dalam I’rob, Syaibawiyah dan orang-orang basroh mereka menguatkan pendengarannya qiyas, mereka tidak mengambil qiyas kecuali apa yang mereka percaya. Syayuti meneliti tentang masalah qiyas dan beliau berkata: setujulah kalian sesungguhnya orang Basroh lebih benar masalah qiyas karena mereka tidak memperhatikan kepada apa yang mereka dengar dan tidak mengqiyaska sesuatu yang langka, dan orang kufah lebih luas periwayatannya. Abu Barkah berkata tidak diketahui dari ulamak basroh satu orangpun tentang ilmu nahwu dan bahasa yang mengutip dari ahlil kufah kecuali abu zaid maka sesungguhnya ia meriwayatkan dari yang mulya. Abu Khotim juga berkata jika kamu menafsirkan huruf al-quran yang bertentangan dan kamu menceritakan sesuatu kepada orang arab, maka ceritakannlah yang terpercaya. Sumber pempelajaran orang Basroh dan bersandar kepada beberapa sumber diantaranya ialah: 1. Al-qu’an Orang Basroh bersandar kepada al-quran dan membangun ilmu nahwunya, al-quran salah satu sumber yang mereka percayai dari dasar nahwu mereka, ini tidak bisa diartikan orang orang kufah itu tidak menjadikan al-quran sebagai landasan mereka, dan itu dibahas dibab kuffayin. 2. syair jahiliyah dan islam Telah bersandar penyair jahiliyah dari keasliannya, dan dan keluar dari syair islam mereka mempunyai syair Farasdak dan Jarir. E. Karekteristik Nahwu Bashroh secara sederhana bisa diketahui bahwa nahwu aliran Bashrah adalah nahwu yang cenderung murni berdasarkan bahasa al-Qur’an dan bahasa dari suku-suku yang dikenal fasih bahasa Arabnya, seperti Qais dan Tamim, yang kebanyakan tinggal di Najd,Tihamah, dan Hijaz. Sedangkan nahwu Kufah cenderung mengikuti pola pemikiran fiqh di dalam meletakkan asal-usul, dasar-dasar dan kaidah-kaidah nahwu, di samping sumber pengambilannya yang lebih meluas hingga ke suku-suku yang tidak dikenal kefasihannya, seperti suku “al-Tsawin” dari Bani Asad di Yaman. Karakter dan teknik pengambilan yang berbeda,pada gilirannya membawa aliran nahwu Kufah berpredikat independen. Namun, predikat ini tidak secara mutlak, karena ia tetap mendasarkan pada apa yang telah ditetapkan Ulama Bashrah. Upaya nahwu Kufah untuk membuat “kepribadiannya” dilakukan dengan menganalisa ulang partikel dan kata, membuat istilah-istilah baru, atau terus melahirkan pandangan-pandangan baru.(ejournal.uin-malang.ac.id › ... › Ridwan -) Adapun kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh kelompok Bashrah (Syauqi Dlaif, 1976), diantaranya: 1.Shifat hanya beramal pada nafi, istifham, dan maushuf. Baik itu secara maknawi, lafdhi ataupun taqdir (dikira-kirakan). 2.Yang merafa’kan mubtada’ adalah ibtida’ (karena posisinya di awal kalimat) 3.Fi’il harus mudzakar ketika digunakan untuk isim mudzakar, dan harus mu’anats ketika untuk isim mu’anats. 4.Mashdaradalah asal dari kalimat, sedangkan fi’il merupakan musytaqnya. Dengan kata lain mashdar adalah asal dari fi’il. 5.Na’ib fa’il tidak boleh diganti dengan dharf, jer majrur atau mashdar selam ada maf’ul bihi. 6.Tamyiz harus terbentuk dari isim nakirah 7.Kata (بئس) dan (نعم) adalah kata kerja, begitu pula fi’il ta’ajub 8.Tidak boleh membuat taukid dari isim nakirah. 9.Fi’il mudlari’ yang jatuh setelah (حتى), (أو) atau (فاء السببية) atau (واو المعية) dinashabkan dengan (أن ) yang harus tersimpan (mudlmar) 10.Fi’il mudlari’ mu’rab karena menyerupai isim fa’il. 11.Setelah (كى), أن tidak boleh ditampakkan, tetapi harus mudlmar (tersimpan) 12.(أن)Yang sudah dibuang (محذوفة)tidak bisa beramal lagi (tidak berfungsi manashabkan).(Syauqi Dlaif, 1976) F. Tokoh-tokoh ulama` nahwu basroh dan produk nahwunya Tokoh pertama yang disebut sebagai peletak batu pertama atas ilmu nahwu terdapat perbedaan di kalangan para ahli.Sebagian ahli mengatakan peletak dasar ilmu nahwu adalah Abu Al-Aswad Ad-Du’ali sebagian yang lain mengatakan Nashr bin ‘Ashim, dan ada juga yang mengatakan Abdurrahman bin Hurmus (Dlaif, 1998:13).Namun dari semua pendapat di atas pendapat yang paling kuat dan diakui oleh mayoritas ahli sejarah adalah Abu Al-Aswad. Menurut Muhammad Thonthowi Dalam kitab Nasy’atu An-Nahwi Wa Asyhuri An-Nuhati, membagi aliran Basrah berdasarkan periode dan tokoh-tokohnya kepada tujuh tingkatan, mulai dari Abu Al- Aswad Al-Du ali-(69 H) sampaidengan Al- Mubarrid (285 H).( Thonthowi Dalam kitab Nasy’atu An-Nahwi Wa Asyhuri An-Nuhati, Muhammad Thonthowi:71) Dalam makalah ini akan membahas tiga tokoh ulama` nahwu basroh yang terkenal, diantaranya Abu Al-Aswad Ad-Du’ali, Al-Kholil, dan Syibawaihi. 1. Abu Al-Aswad Ad-Du’ali Abu Aswad Ad-Duali Adalah abuaswad Dzhalim bin amar bin Sufyan bin Jandal bin Ya’mur bin Hulais bin Nufatsah bin ‘Adii bin Addaiil bin bakr bin Abdu Manah bin Kinanah. abu aswad jugalah yang pertama kali meletakkan dasar-dasar bahasa arab sertatitik dalam Alquran, sebagaimana dikatakan oleh abu abbas Muhammad ibn yazid ibn abd al-akbar al-azdy: أول من وضع العربية و نقط المصاحف هو أبو الأسود ظالم بن عمرو M.abdfadhil Ibrahim.Thabaqatunahwiyyinwa lughawiyyin:21 M.abdfadhil Ibrahim.Thabaqatunahwiyyinwa lughawiyyin:22 Abu Aswad adalah orang pertama yang mendapat kepercayaan dari Khalifah bin Abi Thalib untuk menangani dan mengatasi masalah lahn yang bermasalah di kalangan masyarakat arab. Ali memilih Abu al-Aswad karena ia adalah seorang yang cerdas, genius, berwawasan luas, dan memiliki kemampuan tinggi dalam bahasa arab (Al-Fadlali, 1986 : 8). Suatu ketika Abul Aswad mendengar seseorang membaca ayat Al-Quran "أن الله برىء من المشركينورسوله " beliau berkata seharusnya huruf lam dalam kata dibaca dhamah bukan kasrahdengan membarisbawah huruf “ra” pada kalimat (رسوله) iaitu Rasulihi, sebagai Ma'athuf /digabung kepada kalimat (المشركين) yang sepatutnya dibaca dengan dhammah (Rasuluhu) sebagai mubtada’ / subjek daripada ayat yang tidak disebutkan iaitu (ورسوله كذلك بريءٌ)yang bermakna “Sesungguhnya Allah berlepas diri (tidak bertanggung jawab) terhadap orang musyrikin, dan Rasul-Nya )juga tidak bertanggung jawab(, tetapi jika dibaca (wa Rasulihi) maka maknanya ialah “Sesungguhnya Allah berlepas diri (tidak bertanggung jawab) terhadap orang musyrikin dan Rasul-Nya” . http://jom-nahu.blogspot.com/2011/07/mengapa-ilmu-nahu-muncul.html. Atas kejadian itu ia meminta izin pada Gubernur Bashrah, Ziyad bin Abieh, untuk menulis buku tentang kaidah dasar bahasa Arab (Dlaif, 1968:15). Dia menulis bab fa’il, maf’ul, huruf jar, rafa’, nashab, dan jazm. 2. Al-Khalil bin Ahmad Nama lengkap beliau adalah Abu ‘Abd ar-Rahman Al-Khalil ibn Ahmad ibn ‘Amr ibn Tamim Al-Farahidi Al-Azdi. Beliau lahir di Basrah pada tahun 100 H dan tinggal di sana hingga wafat tahun 170 H, atau tahun 175 H menurut sebagian pendapat. Ayah beliau adalah orang yang pertama kali menggunakan nama Ahmad setelah Nabi Muhammad SAW. Sejak kecil beliau senantiasa mengikuti kajian-kajian ilmu mulai dari hadits, fiqih, dan juga bahasa.Guru yang paling berpengaruh adalah ‘Isa ibn ‘Amr dan Abu ‘Amr ibn al-’Ala’.Beliau juga gemar mempelajari ilmu-ilmu lainnya yang berasal dari luar Arab, terutama matematika.Beliau adalah sahabat dan juga pengagum Ibn Muqoffa’.Al-Khalil membaca semua karya terjemahan Ibn Muqoffa, dan juga lainnya, termasuk ilmu tentang irama musik, yang berasal dari Yunani.Beliau sangat menguasai ilmu tentang musik ini, sampai-sampai dijadikan pegangan oleh Ishaq al-Mushili dalam karyanya tentang ilmu tersebut. Al-Khalil merupakan seorang yang jenius. Beliau tidaklah mempelajari suatu ilmu kecuali hingga sampai rinci dan dibukakan apa yang belum diketahuinya. Benar saja apa yang dikatakan Ibn Muqoffa’ bahwa kecerdasan (aqal) beliau lebih banyak daripada ilmu beliau.Beliau adalah seorang yang menjadikan intelektualitas sebagai hartanya yang tak ternilai dan bersikap zuhud dalam urusan harta benda. Al-Khalil adalah tokoh yang sangat vital dalam sejarah ilmu bahasa Arab.Peran beliau dalam ilmu ini hampir meliputi semua aspek ilmu bahasa, mulai dari fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, hingga ilmu-ilmu lainnya yang berkaitan dengan bahasa Arab.(ppiq.wordpress.com/2008/14 april 2013/0:49) Al-Khalil adalah orang yang membuat istilah-istilah nahwu seperti mubtada’, khabar, maf’ul bih, fa’il, hal, tamyiz, dan lain sebagainya.Beliau juga yang mengistilahkan rafa’, nashab, dan khafd, serta jazm pada I’rab kalimah, dan mengistilahkan harakah mabni dengan dham, fath, kasr, dan waqf (sukun). Selain itu, terdapat dua teori penting yang dirintis oleh Al-Khalil dalam ilmu nahwu, yaitu konsep beliau tentang ‘amil dan ma’mul, dan konsep mengenai dasar kaidah nahwu yang meliputi sima’, ta’lil, dan qiyas.Konsep ‘amil dan ma’mul Al-Khalil bisa disimpulkan dari apa yang dituliskan muridnya, Sibawaih, dalam Al-Kitab.‘Amil menurut beliau biasanya berupa lafdzi, misal, mubtada‘ sebagai‘‘amilyang me-rafa’-kan khabar, fi’il me-rafa’-kan fa’il dan me-nashab-kan maf’ul. Akan tetapi, beliau juga menunjukkan ada ‘amil yang bersifat ma’nawi, misalnya adalah ‘amil yang me-rafa’-kan mubtada. ‘Amil dapat berupa ‘adat dan huruf. Semisal كان dan semisalnya yang me-rofa`-kan isimnya dan menasobkan khobarnya lalu إنّyang menasobkanisimnya dan me-rofa`-ankhobarnya. Selanjutnya, ‘amil menurut beliau ada yang ditampakkan (zhahirah) dan ada yang dihilangkan (mahdzufah). Contoh yang dihilangkan adalah semisal ‘amil yang me-rafa’-kan lafadz المسكينdalam kalimat مررت به المسكين, apabila ditampakkan menjadiمررت به هو المسكين. 3. Sibawaih Adalah Sibawaehi (Nama lengkapnya: ‘Amr ibn Utsman Ibn Qunbar [148-180 H./765-795 M.]) pengarang al-Kitâb yang terkenal itu. Julukannya adalah: “Abu Bisyr” tapi orang banyak mengenalnya: “Sibawaehi”. Dalam bahasa Persia, kata Sibawaehi artinya: harum buah apel.Imam pakar Ilmu Nahwu ini dilahirkan di suatu komunitas besar di kota Baidha’, salah satu kota di propinsi Istikhar, Persia (Iran sekarang). Dalam umur yang relatif dini, Sibawaehi kecil bersama keluarganya hijrah ke kota Bashrah meninggalkan tanah kelahirannya, Baidha’.Dunia metropolitan Bashrah yang menjadi basis keilmuan Islam saat itu merupakan saksi awal keilmuan Sibawaehi dibangun dan ditata. Di situlah tempat ia menuntut ilmu bersama para ulama-ulama terkemuka di zamanya hingga ajal menjemput di usia yang belum terlalu tua, tahun 180 H. Ia menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang di kota Ahwaz, Iran. Hingar-bingar keilmuan Bashrah membuat Sibawaehi kecil kerasan alias beta, dengan tekun ia belajar Hadits dalam halaqah Syeikh Himad ibn Salamah ibn Dinar, salah seorang Muhadist termashur saat itu. Dalam kegigihan itu, Sibawaehi mendapati lahn (kesalahan-ungkap) pada pembelajaran Syeikh ketika membacakan beberapa hadist Nabi.Ia kecewa dengan sang guru. Dirinya bertekat tidak mengulangi kesalahan tersebut (lahn) sebagaimana telah dialami Syeikh Himad.Di sinilah awal Sibawaehi tergiur belajar bahasa Arab agar terhindar dari lahn yang mengjengkelkan itu..(sauqi dloif) Karya Monumental Sibawaehi: “al- Kitâb” Hampir disetiap diktat Ilmu Nahwu yang kita pelajari tak pernah lepas dari rujukan yang bersumber dari al-Kitâb Sibawaehi yang di kenal dengan Qur’an al-Nahwi. Benar juga kesaksian yang mengatakan kitab-kitab Nahwu selepas Sibawaehi tidak lebih dari sekedar pengulangan-pengulangan al-Kitâb, serasa tidak ada referensi lain selain karya dari aliran Bashrah itu. Hal ini bukti ketajaman dan ketelitian pengarang dalam mempelajari gramatika bahasa Arab. Imam Kholil berkata (mengenai Alkitabnya syibaihi): barang siapa yang ingin mengarang kitab yang lebih besar setelah imam syibawaihi maka malu lah.(sauqi dloif) Al-Kitâb Sibawaehi terdiri tiga juz dan terdapat 1500 bait syi’ir yang dimulai dari bab kalam dan diakhiri dengan bab jer. Konon, sejarah dinamakan al-kitab ini merupakan kumpulan tulisan Sibawaehi tentang kaidah Bahasa Arab yang lebih dominan membahasa tentang Ilmu Nahwu.Tanpa menafikan ilmu Balaghah di dalamnya. Kemudian setelah beliau wafat, maka para ulama bahasa membukukan tulisan-tulisannya dengan nama yang megah: “al-Kitâb”. Abu Ja’far berkata, Muhammad ibn Zaid bercerita bahwasanya para pengoreksi tulisan-tulisan Arab dan orang-orang yang ahli bahasa di negara Arab banyak yang merujuk pada al-Kitâb Sibawaehi dan mereka berkesimpulan bahwasanya kitab Sibawaehi tidak pernah meninggalkan kosa kata yang berpatokan pada lisan orang arab kecuali pada tiga kata. Adapun salah satu kaidah yang beliau tetapkan adalah “bahwasanya fi’il harus senantiasa dibarengi oleh isim sehingga akan membentuk suatu kalam. Dan sebaliknya, isim tidak membutuhkan fiil seperti contoh الله إلهنا و عبد الله أخونا ” ”.(http://zoelfansyah.blogspot.com/2011/12/imam-sibawaih-dan-ilmu-nahwu.html) Ada dua sumber yang dipakai Sibawaih sebagai argumentasi dalam menguatkan pendapatnya mengenai sebuah persoalan tatabahasa, yaitu puisi Arab dan hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam kitabnya, Sibawaih menggunakan kurang lebih seribu lima ratus bait puisi. Banyak dari puisi-puisi tersebut tidak disebutkan sumbernya, entah karena penciptanya sudah meninggal atau memang tidak diketahui.Karena takut salah, kadang-kadang Sibawaih mencantumkan dua bahkan lebih sumber untuk satu puisi.Puisi-puisi itu ada yang dinyatakan bersumber dari gurunya atau dari pendengarannya sendiri.Syaikh Muhammad ath-Thanthawy menyatakan adanya tiga puluh satu puisi tanpa sumber yang jelas, sedangkan Syaikh ‘Abdul Qadir al-Baghdady menyebut angka lima puluh.Berikut ini kami sampaikan pendapat beberapa ulama terkait puisi-puisi tanpa sumber ini. 1. ‘Uqaibah bin Hubairah al-Asady مُعَـاوِىَ إِنَّـنَا بَشَـرٌ فَأَسْـجِحْ فَلَسْـنَا بِالْجِـبَالِ وَلاَ الْحَـدِيْـدَ ا Sibawaih menyatakan bahwa kata الحديدا itu mansub karena ma‘thuf kepada kata الجبال .Kata الجبالitu sendiri mansub, sedangkan ba’ adalah zaidah.‘Uqaibah menyatakan bahwa Qutaibah menyalahkan pendapat Sibawaih di atas dan kata الحديدا harus dibaca majrur sebagaimana umumnya qasidah puisi Arab.Al-Mubarrad juga mengikuti pendapat Qutaibah ini. 2. Nahsyal bin Hurry لِيُـبْكَ يَـزِيْدٌ ضَـارِعٌ لِخُصُـوْمَـةٍ وَمُخْتَـبِطٌ مِمَّـا تُطِـيْحُ الطَـوَائِـحُ Sibawaih menyatakan bahwa kata ضـارعmarfu‘ karena merupakan naibul fa‘il yang sudah diketahui dari kata ليـبك . Nahsyal menyampaikan pendapat al-Ushmu‘i yang menyangkal pendapat ini, karena tidak ada na’ibul fa‘il dari fi‘l mahzhuf. Kata يـزيد harus tetap mansub, sedangkan kata ضـارع adalah fa‘il.(http://forumstudinahwu.blogspot.com )
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Penyejuk Hati | Madura News | Pondok Template
Copyright © 2011. Jawahir Mansuri - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger